Sejarah Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram
Islam sebagai agama rahmat sudah dapat dirasakan oleh umat islam yang menyadari bahwa islam merupakan agama yang paling tinggi di antara agama-agama yang lain. Nabi Muhammad sebagai pembawa agama islam, telah mampu meyakinkan sebagian besar kafir quraysh sehingga banyak di antara mereka yang mengikuti jejaknya. Sebagai agama rahmat, ajaran dan nilai-nilai yang terkandung tentunya sangat bijaksana, sehingga dalam waktu yang cepat, Islam telah tersebar luas dengan jumlah pengikut yang luar biasa banyaknya. Peta penyebaran agama Islam bermula dari Makkah kemudian melebarkan sayapnya ke Madinah. Setelah Nabi Muhammad wafat, para Khalifah selanjutnya tak henti-hentinya terus berjuang melebarkan peta kekuasaan.
Usaha untuk melebarkan peta kekuasaan itu, kebanyakan melalui peperangan dan pendudukan, akan tetapi tidak dengan Islam Indonesia, agama Islam masuk ke Negara ini tidak melalui kekerasan. Menurut teori Gujarat, Islam masuk ke Negara ini melalui jalur perdagangan, para Gujarat India melakukan hubungan dagang dengan Indonesia yang saat itu masih dikenal dengan Nusantara. Sedangkan menurut teori Arab, Islam masuk ke Indonesia berkat pedagang Arab yang langsung datang ke Indonesia, salah satu bukti yang diajukan oleh teori ini adalah adanya kesamaanya madzhab yang dianut muslim Nusantara dengan Pedagang Arab sejak itu. Selain teori di atas masih banyak teori yang menyatakan tentang asal-usul masuknya Indonesia, di antaranya adalah teori Persia, Teori Cina dan lain sebagainya.
Terlepas dari berbagai teori di atas, agama Islam di Indonesia telah berkembang cepat sehingga sampai saat ini, masih menduduki sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia. Sebagai agama mayoritas, tentunya telah banyak yang ditorehkan dalam sejarah dan ajarannya sehingga mampu meyakinkan penduduk Indonesia yang sebelumnya beragama Hindui-Budha. Ini membuktikan bahwa agama Islam merupakan agama yang paling sempurna di antara agama-agama yang lain.
Perkembangan Islam di Nusantara tidak lepas dari pernanan kerajaan-kerajaan Islam yang terus melakukan pengislaman terhadap rakyat-rakyatnya. Kerajaan pertama adalah kerajaan Samudera Pasai yang dipimpin oleh seorang raja bernama Malim Ibrohim bin Mahdum. Setelah kerajaan tersebut, maka menjamurlah kerajaan Islam di berbagai daerah seperti Jawa, Madura dan lain sebagainya.
Sebelum kerajaan Islam berkembang di pulau Jawa, kerajaan Hindu dan budha telah berdiri kokoh. Dari kerajaan tersebut terciptalah banyak peradaban dintaranya adalah Candi Borobudur dan Candi Roro Janggrang yang sampai saat ini masih berdiri sempurna. Perkembangan kerajaan Hindu dan Budha terutama kerajaan besarnya seperti Majapahit mulai tersendat ketika Islam mulai masuk wilayah Jawa. Pengaruh kerajaan mulai tertandingi oleh pengaruh para wali Islam yang langsung bersentuhan masyarakat Jawa. Mulai saat itulah, kharisma kerjaan Majapahit terus menurun drastis sehingga pada perkembangan selanjutnya, tergantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Dilihat dari tahun berdirinya, Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama kali berkembang di pulau Jawa. Kemudian, disusul oleh kerajaan-kerajaan Islam lainnya, sehingga pada akhirnya Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Jawa dan Madura.
Dalam makalah singkat ini, penulis akan menjelaskan secara singkat kerajaan Islam yang ada di pulau Jawa termasuk Kerajaan yang ada di pulau Madura karena Madura merupakan bagian dari Jawa.
A. Kerajaan Demak
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kerajaan ini muncul setelah kerajaan Majapahit mulai redup. Majapahit mengalami kemunduran pada tahun 1478 dengan ditandai Candra Sangkala: Sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Jawa[1]. Akibat melemahnya kerajaan Majapahit itu, banyak daerah di utara pulau Jawa mulai memisahkan dari kekuasaan Majapahit. Sementera itu, kondisi daerah utara Pulau Jawa itu semakin kuat dengan masyarakatnya sudah banyak yang beragama Islam.
Kondisi Majapahit yang seperti itu, membuat pemuka agama Islam yaitu para wali yang jumlahnya sembilan berkumpul. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Walisongo bersepakat membangun kerajaan Islam dan mengangkat Raden Patah (1478-1518) sebagai raja pertama kerajaan Demak[2], dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar I[3]. Peristiwa agung itu, terjadi pada tahun 1478 M atau dalam kalender Jawa terjadi pada tahun 1403[4] Saka.
Pada awalnya, Raden Patah adalah adipati di kadipaten Bintara Demak yang merupakan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Akan tetapi pada akhirnya, atas pertimbangan dari Walisongo dan dukungan dari berbagai daerah terutama Jepara, Tuban, Gresik dan lain sebagainya, Raden Patah memproklamasikan Bintara Demak sebagai kerajaan Islam dan dapat merobohkan Majapahit yang saat itu sudah tidak berdaya lagi[5]. Majapahit jatuh kepada kekuasaan Kerajaan Demak pada tahun 1478[6]. Setelah kerajaan Majapahit tidak berdaya, Sultan Raden Patah memindahkan alat kenegaraan seperti alat upacara dan pusaka-pusaka yang dimiliki Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak, sebagai lambang tetap berjalannya kerajaan Majapahit tetapi dalam bentuk kerajaan lain yaitu Demak yang menganut Islam.
Demak terletak di pesisir utara Pulau Jawa dengan lingkungan alamnya yang subur, bermula dari sebuah kampung yang berabad-abad lokal disebut Glagahwangi[7]. Letak Demaksangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria di Jawa. Sebelumnya selat itu agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.
Kerajaan Demak menjalankan sistem pemerintahan teokrasi, yaitu pemerintahan yang berdasarkan pada agama Islam. Kerajaan Demak memperluas kekuasaannya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan pesisir Pulau Jawa, seperti Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Cirebon dan Banten[8].
Adapun para sultan yang pernah meminpin kerajaan Demak adalah Raden Patah (1478-1518 M), Adipati Unus (1518-1521 M), Sultan Trenggana (1521-1546 M) dan Sunan Prawoto (1546)[9]. Meski demikian, dalam Babad Tanah Jawi yang dikutip Purwadi menyatakan bahwa Sunan Prawoto tidak hanya berkuasa selama setahun akan tetapi tiga tahun terhitung sejak Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546 sampai Sunan Prawoto wafat pada tahun 1561 M[10]. Berikut akan dijelaskan satu persatu:
1. Raden Patah
Raden Patah lahir di Palembang pada tahun 1455 M dan wafat di Demak pada tahun 1518 M. Beliau adalah putra raja Majapahit, Brawijaya V (1468-1478 M) dan ibunya adalah seorang putri cina yang bernama Dewi Ni Endang Sasmitapuri[11]. Menurut Babad Tanah Jawi, putri cina itu adalah putri dari Kiai Batong (Tan Go Hwat)[12].
Ketika Raden Patah dalam kandungan, Bapaknya menitipkannya kepada Gubernur Palembang, di sanalah Raden Patah lahir[13]. Proses penitipan itu terjadi karena Brawijaya ingin menobatkan putri Cina itu sebagai permaisuri, akan tetapi permaisuri Brawijaya yaitu ratu Dwarawati tidak menginginkan hal itu, sehingga Brawijaya meminta anaknya yang berada di Palembang yaitu Raden Arya Damar untuk membawa putri Cina tersebut. Dari putri Cina itulah Raden Patah lahir yang kelak menjadi Sultan pertama kerajaan Demak dan beliau wafat pada tahun 1518 M. Setelah kelahiran Raden Patah, Arya Damar menikahi putri cina itu dan dikarunia putra yang bernama Raden Kusein.
Kedua anak itu (Raden Patah dan Raden Kusein) kemudian disuru pergi ke pulau Jawa. Raden Patah disuru belajar ilmu keagamaan kepada Sunan Ampel sedangkan Kusein disuru mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Alhasil, setelah keduanya sampai di Ampel, Kusein mengajak Patah untuk mengabdi kepada Majapahit, namun Patah tidak mau karena Raja Majapahit masih beragama Hindu dan lebih memilih tinggal di Ampel menjadi santri Sunan Ampel[14]. Sebelum menjadi Sultan didaerah Glagahwangi yang kelak menjadi Demak, Raden Patah ditugasi untuk membuka pesantren di sana[15]. Galgahwangi terletak di tepian sungai tuntang yang sangat luas sehinga bisa dilayari oleh kapal yang biasa berlayar di lautan. Tak lama kemudian, daerah itu berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 10.000 jiwa[16].
Perkembangan itu akhirnya diketahui oleh Prabu Brawijaya V, dan menanyakan kepada Adipati Terung Pecattondho yang nama kecilnya adalah Kusein, kemudian Kusein mengatakan bahwa yang berkuasa di daerah Glagahwangi itu adalah putra Prabu Brawijaya. Akhirnya Raden Patah diangkat untuk menjadi Adipati di daerah Glagahwangi yang akhirnya dikenal dengan Demak[17].
Selain nyantri di Sunan Ampel, Raden patah juga adalah salah satu muridnya Sunan Kudus yang ulung. Setelah memimpin kerajaan Demak, Raden Patah selalu didampingi Sunan Kudus[18]. Raden Patah memang sungguh-sungguh ingin mengembangkan Islam sesuai dengan cita-cita guru-gurunya. Beliau sangat menginginkan agar agama Islam menjadi agama yang unggul di antara agama-agama yang lain. Usaha untuk mengembangkan Islam, bisa dibuktikan dengan pembangunan masjid Demak yang pada akhirnya dijadikan pusat pendidikan kerajaan Demak. Selain dalam bidang keagamaan, Raden Patah juga membangun sistem pemerintahan Demak yang bagus, hal ini bisa dilihat dari kelengkapan alat negara terus disusun. Alat upacara kenegaraan mengambil dari kerajaan Majapahit, sedangkan dalam bidang pertahanan, beliau telah membentuk angkatan perang.
Pada kepemimpinan Raden Patah, Demak sudah mencapai kesuksesan dan kejayaan. Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara. Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu, Raden Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Setelah Raden Patah wafat, kepemimpinan Demak dilanjutkan oleh putranya yang bernama Pati Unus
2. Adipati Unus
Setelah Raden Patah wafat, tahta kerajaan Demak dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pati Unus dengan gelar Sultan Demak Syah Alam Akbar II[19]. Pati Unus dikenal dengan Pengeran Sabrang Lor, beliau seorang raja yang tegas dalam mengambil keputusan dan seorang kesatria, bangsawan[20]. Beliau memimpin kerajaan Demak selama 3 tahun yaitu dari tahun 1518-1521 M.
Semangat perang Pati Unus telah tampak sejak Demak dipimpin oleh bapaknya, sehingga ia pernah ditugasi untuk memimpin tentara Demak untuk menyerang Portugis, meski akhirnya mengalami kekalahan akibat ombak yang yang sangat besar dan kuatnya pasukan Portugis.
Tak lama setelah menjabat Sultan kerajaan Demak, ia merencanakan serangan terhadap Malaka yang saat itu sudah dikuasi oleh Portugis[21]. Pada tahun 1512 Demak mengirimkan armada perangnya menuju Malaka. Namun setalah armada sampai dipantai Malaka, armada pangeran sabrang lor dihujani meriam oleh pasukan Portugis yang dibantu oleh menantu sultan Mahmud, yaitu Sultan Abdullah raja dari Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran sabrang lor atau Adipati Unus, tetapi kembali gagal.
Selain itu, dia berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia menghilangkan kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, yang pada saat itu sebagian wilayahnya menjalin kerja sama dengan orang-orang Portugis. Adipati Unus wafat pada tahun 938 H/1521 M. Kemudian kepemimpinan Demak digantikan oleh Sultan Trenggana.
3. Sultan Trenggana
Setelah Pati Unus wafat pada tahun 1521 M, pemerintahan kerajaan Demak dilanjutkan oleh saudaranya yang bernama Sultan Trenggana. Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah barat yaitu sampai daerah Banten dan ke timur sampai ke kota Malang[22]. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah[23]. Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis dan kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai hari jadi kota Jakarta.
Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur berhasil di kuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana berkuasa selama 42 tahun[24].
Sepeninggalan Sultan Trenggana, keluarganya mengalami perpecahan terkait dengan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan Demak. Kemudian, adik dari Sultan Trenggana menaiki tahta kerajaan Demak pada tahun 1546 M. Karena banyak keluarganya tidak setuju atas kepemimpnan Prawoto, maka Adipati Jipang (Bojonegoro), Arya Penangsang, membunuh Prawoto pada tahun 1546 M. Dari perpecahan itulah timbul pembunuhan yang pada akhirnya kerajaan Demak berakhir pada saat itu. Bahkan dikabarkan, kerajaan hancur karena pertempuran keluarga tersebut.
4. Sunan Prawoto
Setelah Sultan Trenggana meninggal, maka timbullah perpecahan di antara keluarga keratin. Mereka berselisih dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin penerus Trenggana. Adiknya Trenggana (Pangeran Seda ing Lepen) merasa paling pantas untuk meneruskan pemerintahan Demak. Di sisi lain, banyak orang yang menganggap bahwa anaknya Sultan Trenggana (Pangeran Prawoto) yang berhak meneruskan. Dari perselisihan tersebut, adiknya Trenggana melawan Prawoto yang mengakibatkan Pangeran Seda ing Lepen terbunuh[25]. Mulai saat itulah Pangeran Prawoto menaiki tahta Kerajaan Demak. Akan tetapi tak lama kemudian, Sunan Prawoto juga dibunuh oleh anaknya Pangeran Seda ing Lepen. Mulai saat itulah kerajaan Demak mulai hancur yang pada akhirnya diambil alih oleh Jaka Tingkir sebagai Raja Kerajaan Pajang. Kepemimpinan Pangeran Prawoto berakhir tidak sampi satu tahun. Prawoto meninggal pada tahun 1546 M. Akan tetapi dalam bukunya Purwadi mengatakan bahwa Prawoto berkuasa sejak tahun 1546-1561 M[26].
Demak berkuasa kurang lebih setengan abad, keberhasilan yang telah dicapai bahkan keberhasilan itu masih bisa dirasakan hingga sekarang antara lain sebagai berikut[27]:
1. Sultan Raden Patah pernah menyusun kitab undang-undang dan peraturan bidang hukum. Namanya adalah Salokantara. Di Dalamnya menerangkan tentang kepemimpinan keagamaan yang pernah menjadi hakim, mereka disebut dharmadhyaksa dan kertopatti.
2. Gelar penghulu (kepala) juga sudah dipakai oleh imam masjid Demak.
3. Bertambahnya bangunan militir di Demak dan ibu kota lainnya di pulau Jawa.
4. Masjid Demak[28] menjadi pusat peribadatan kerajaan Demak.
5. Munculnya kesenian seperti wayang orang, topeng, gamelan, tembang macapat dan perkembangan sastra lainnya.
B. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan penerus Demak. Setelah kerajaan Demak mengalami kekacauan akibat perebutan tahta kepemimpinan Demak. Sepeninggal Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik tahta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang (Bojonegoro). Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal. Dengan dukungan Ratu Kalinyamat(bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris tahta Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang[29]. Jaka Tingkir adalah menantu dari Sultan Trenggana[30]. Penyerangan terhadap Arya Penangsang itu, Jaka Tingkir dibantu oleh Ki Ageng Pamanahan. Atas jasa Ki Ageng tersebut, Jaka Tingkir memberikan hutan kepada Ki Ageng Pemanahan tepatnya di hutan Mentoak yang kelak menjadi Mataram.
Pengesahan Jaka Tingkir sebagai sultan Kerajaan Pajang (Boyolali) disahkan oleh Sunan Giri dan segera mendapat pengakuan dari seluruh kadipaten di Jawa tengah dan Jawa Timur.[31] Sementara Demak dijadikan Kadipaten dengan adipatinya Arya Pengiri putra Sunan Prawoto. Kalau kerajaan Demak berada dipesisir akan tetapi kerajaan Pajang diletakkan di pedalaman yaitu Pajang. Peletakan Kerajaan itu, menuai kritik dari Sunan Kudus karena menurutnya di daerah pedalaman telah menganut kepercayaan Islam yang berbeda dengan kepercayaan Islam pesisir. Sunan Kudus menduga aliran kepercayaan Islam yang berbeda diprakarsai oleh Syekh Siti Jenar. Namun harapan Sunan Kudus agar tidak memindahkan ibu kota kerajaan ke pedalaman itu tidak dihiraukan, maka terjadilah pemindahan ibu kota kerajaan Demak ke Pajang dan lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajang.
Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Pajang adalah Jaka Tingkir, Arya Pengiri, Pangeran Benawa. Lebih lanjut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Jaka Tingkir
Jaka Tingkir nama aslinya adalah Mas Karebet. Ia memimpin Pajang dari tahun 1568-1587 M. Ia adalah menantu dari Sultan Trenggana yang pada awalnya diberi tugas sebagai Adipati di Kadipaten Pajang. Sepeninggal Sultan Trenggana, kerajaan Demak mengalami kekacauan karena perebutan pemimpin. Kekacauan itulah yang dimanfaat oleh Jaka Tingkir untuk menggalang dukungan kepada seluruh kadipaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari usaha itulah, seluruh Kadipaten menyetujui agar Jaka Tingkir menjadi Pemimpin penerus pemimpin Demak. Mulai saat itulah seluruh kebesaran kerajaan Demak dipindah ke Pajang dan jadilah Kerajaan Pajang[32]. Jaka Tinggkir adalah pemimpin yang sangat berpengaruh di pulau Jawa, karena kegigihannya dalam memimpin, kemudian ia mendapat gelar Sultan Hadiwijaya.
Selama Jaka Tingkir memimpin Pajang, kesusastraan dan kesenian keraton sudah maju diperadaban Demak mulai dikenal dipedalaman Jawa Tengah[33]. Pada saat kepemimpinannya pula, kesusastraan mengalami kemajuan, hal ini bisa dibuktikan dengan sajak monolistik “Niti Sruti” yang dikarang oleh Pangeran Karang Gayam[34].
Selain kemajuan kesusastraan, pada masa pemerintahan Hadiwijaya juga berhasil mengepakkan sayap kekuasaannya ke daerah timur tepatnya Madiun, Blora dan Kediri. Pada tahun 1581 M, ia mendapat pengakuan sebagai Sultan Islam bagi kerajaan-kerajaan penting di Jawa Timur[35].
Jaka Tingkir meninggal pada tahun 1587 M. dan dikuburkan di barat Taman Kerajaan Pajang. Setelah itu, kepemimpinan Pajang digantikan oleh Arya Pengiri yang sebelumnya menjabat Adipati di Kadipaten Demak.
2. Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang[36]. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara. Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583-1586 M dan bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Arya Pangiri melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram. Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa. Dari itulah banyak warga yang tidak suka terhadap Arya Pangiri[37].
3. Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah putra Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Sejak kepemimpinan Arya Pangiri, masyarakat Pajang sudah mulai tidak suka, akhirnya keadaan itu dimanfaat oleh Pangeran Benawa untuk merebut kembali kekuasaan Pajang. Arya Pangiri kalah dan dikembalikan kepada kadipaten Demak pada tahun 1586 M[38]. Sejak saat itulah Pangeran Benawa memimpin Kerajaan Pajang. Namun baru satu tahun memimpin Pajang, Pangeran Benawa meninggal pada tahun 1587[39]. Pada saat itu kerajaan Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang Mataram, dan pada akhirnya menjadi bagian dari kerjaan Mataram. Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Pangeran Benawa tidak meninggal tetapi melarikan diri[40]. Penyebab pelarian itu tidak lain karena Kerajaan Mataram menyerang Pajang sehingga para pemimpin Pajang melarikan diri ke Giri dan Surabaya[41]. Mulai saat itulah pajang berada dalam kekuasaan Mataram.
C. Kerajaan Mataram
Kemenangan Jaka Tingkir raja Pajang atas Arya Panangsang karena mendapat bantuan Ki Ageng Pemanahan beserta adiknya yaitu Danang Sutawijaya. Karena jasanya tersebut Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan berupa daerah yaitu alas Mentaok[42]. Dalam Babad Tanah Jawi[43] diceritakan bahwa Ki Ageng Pemanahan menyulap alas (hutan) Mentaok menjadi sebuah kadipaten, yaitu kadipaten Mataram pada tahun 1573 M.
Ki Ageng Pemanahan itu sebagai perintis kerajaan Mataram. Dengan demikian ia lebih dikenal dengan Ki Ageng Gede Mataram. Akan tetapi, tidak sampai menikmati usahanya untuk menjadikan sebuah kerajaan yang lebih besar, ia wafat pada tahun 1575 M[44]. Setelah itu, kepemimpinan Mataram dilanjutkan oleh putranya yaitu Sultan Sutawijaya yang dikenal dengan sebutan senopati. Sutawijaya sosok yang cerdas dan gigih dalam strategi perang. Atas kemampuan itulah ia dikenal dengan sebutan Senopati ing Alaga (Panglima Perang) bahkan juga mendapat julukan Sayidin Panata Agama (tuan penata agama)[45].
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Beliau diganti oleh putranya yaitu Mas Jolang. Mas Jolang menerima kerajaan Mataram pada tahun 1613. Mataram terus melakukan perluasan wilayah. Daerah yang berhasil ditaklukkan antara lain, Ponorogo, Kertosono, Kediri, dan Wirosobo (Mojoagung). Sebelum perluasan wilayah berhasil, Mas Jolang gugur. Beliau gugur di wilayah Krapyak. Ia dikenal dengan sebutan Panembahan Seda ing Krapyak. Selanjutnya Mataram dipimpin oleh Mas Rangsang sebagai raja Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alaga Ngabdurrahman Kalifullah. Dikenal dengan sebutan Sultan Agung Anyakra Kusumo. Beliau memerintah pada tahun 1613 – 1645[46].
Pada Mas Rangsang atau Sultan Agung adalah Raja Mataram (Islam) (kesultanan Mataram) yang ketiga. Beliau memerintah dari dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Gelarnya Sultan Agung Hanyokrokusumo tapi lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Beliau merupakan cucu dari Panembahan Senopati yang merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam.
Menurut Ricklefs Pada tahun 1630-an, saat yang menentukan dalam sejarah sosio-budaya Jawa. Sebelum itu, Sultan Agung sudah berhasil menaklukan lawan- lawannya di Jawa Tengah dan Timur, terutama di negara-negara pesisir utara. Yang paling penting dan kuat adalah kota Surabaya, yang menyerah pada tahun 1625. Peperangan yang berdarah itu mengakibatkan banyak sekali korban dan kerugian, baik orang maupun harta benda. Tokoh yang berdiri di atas negara baru itu, sang raja yang berjaya, ternyata harus diakui orang sebagai raja yang tak bisa dikalahkan, yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan gaib, yang merupakan wawayanging Allah, bayangan Tuhan di dunia ini[47].
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah.
Sebelumnya masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan matahari. Penanggalan matahari ini dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meski konsep tahun Saka bermula dari India. Pergantian konsep dasar sistem penanggalan matahari (syamsiyah) menjadi sistem bulan(komariyah) itu berlaku untuk seluruh Pulau Madura, kecuali Banten, Batavia, dan Banyuwangi (Blambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang, yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini[48].
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang subur[49].
Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu[50]:
a) Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumisebagai rajanya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
b) Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono.
Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta,Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
D. Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2009.
Hamka. Sejarah Ummat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.
Kemendikbud RI. Indonesia dalam Arus Sejarah: Kedatangan dan Peradaban Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeva. 2012.
Mulayana, Slamet. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya Negara Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS. 2005.
Olthof, W.L. Babad Tanah Jawa, Terj. H.R Sumarsono. Yogyakarta: Penerbit Narasi. 2007.
Purwadi. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Medan: Pujakesuma. 2007.
Rickelfs, M. C. Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa Abad ke-XIX. Jakarta: PNRI. 2001.
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Ppt: Palgrave. 2001.
Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998.
Yusuf, Mundzirin. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta. 2006.
Gunawan, Konsolidasi Kekuasaan Mataram”, dalam diambil dari http//bunggun.blogspot.com/09/12/2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Patah,06/12/2013.
http://id.wikipedia.
org/wiki/Kerajaan_Pajang/07/12/2013.
[1] Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik (Medan: Pujakesuma, 2007), 233.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 335.
[3] Hamka, Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 149.
[4] Geni mati siniraman janma.
[5] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2006), 77.
[6] M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1200 (Ttp: Palgrave, 2001), 22.
[7] Kemendikbud RI, Indonesia dalam Arus Sejarah: Kedatangan dan Peradaban Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeva, 2012), 35.
[8] http://wowgi.blogspot.com/2013/05/sejarah-kerajaan-Demak-di-nusantara.html.05/12/2013.
[9] Amin, Sejarah Peradaban Islam, 336.
[10] Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan, 235.
[11] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), 78.
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Patah,06/12/2013.
[13] Kemendikbud RI, Indonesia dalam Arus Sejarah, 35.
[14] Slamet Mulayana, Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya Negara Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005), 93.
[15] Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan, 233.
[16] Simon, Misteri Syekh Siti Jenar. 78.
[17] Ibid, 79.
[18] Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, 78.
[19] Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, 237.
[20] Kemendikbud RI, Indonesia dalam Arus Sejarah, 36.
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 211
[22] Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, 79.
[23]Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta" yang berarti Kota Kemenangan, yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama Falatehan. Ada pun nama Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah, yang sering dianggap orang sama dengan Fatahillah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah. Baca http://id.wikipedia.org/wiki/Fatahillah
[24] Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, 80.
[25] Ibid, 81.
[26] Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, 237.
[27] Ibid, 80-81.
[28] Banyak orang bilang bahwa masjid agung Demak merupakan masjid pertama, tetapi itu kurang tepat karena di daerah gresik sudah dibangun masjid oleh Maulana malik Ibrahim pada tahu 1404 M. tetapi masjid itu masih dianggap bukan yang pertama karena jauh sebelum ada makam islam yaitu Fatimah Binti Maimun tentu sudah membuat masjid meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Masjdi Demak terdapat gambar petir yang dianggap sebagai Candrasengkala: Noongoo Saliroo Wani yang diartikan tahun saka 1388 (1466 M), tetapi dimembarnya tergambar kura-kura, gambar itu dianggap Candrasangkala yang berarti tahun 1401 saka (1479 M).Kemungkinan masjid itu dibangun pada tahun 1466 M sedangkan mimbarnya pada tahun 1779 M. Simon, Misteri Syekh Siti Jenar. 82-83.
Komentar
Posting Komentar